Rabu, 04 Januari 2012

Membenci Sepuluh Tahun, Mencintai Seumur Hidup

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Padahal, kedua orangtuaku sangat menyayanginya karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri mereka satu-satunya.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun tak menyukainya, aku tetap melayani kebutuhan seksualnya. Aku melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan tuk meninggalkannya tapi aku tak punya pekerjaan untuk membiayai hidupku.

Karena aku tak mencintainya, kulakukan segala hal sesuka hatiku. Ternyata suamiku tidak melarang ataupun memarahi segala tingkah lakuku dirumah. Ia membiarkan dan memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai laptopku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-teman.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun tahu ia membiarkannya. Akhirnya aku hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahan ini semakin bertambah ketika aku mengetahui bahwa aku mengandung dan harus melahirkan anak kembar. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa sudah berusia delapan tahun. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Pagi itu, ia mengingatkan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yah..., karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, seperti biasa aku memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu di salon adalah hobi wanita, tak terkecuali aku. Ternyata di salon aku bertemu teman lama sekaligus orang yang sebenarnya tidak kusukai. Kami mengobrol sembari saling memamerkan kegiatan dan keluarga kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku,” kata suamiku menjelaskan dengan lembut.

Akupun langsung mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, aku mengangkatnya dengan setengah membentak, “Apalagi?”

“Sayang, aku pulang sekarang, akan ku ambilkan dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebutkan nama salon dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.

Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Pemilik salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Akhirnya panggilanku diterima setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak Armandi?” Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit.

Aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Dengan bantuan dari pemilik salon aku tiba di rumah sakit. Tak lama seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib, seorang dokter keluar dari ruangan dan menyampaikan berita, suamiku telah tiada.

Mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada air mata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah, ibu dan mertua. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah, aku duduk di hadapannya. Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.

Kusentuh perlahan wajahnya yang dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata mulai merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja.

Bukannya berhenti, airmata justru semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatan dan kebutuhannya. Aku hampir tak pernah mengatur makanan untuknya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak peduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.

Ia pulang larut malam setiap hari karena jarak dari rumah ke kantor cukup jauh. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah. Aku tak tahu apa-apa sampai terbangun di tempat tidurku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dada. Keluarga besar kami membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan, tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.

Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, seperti biasa aku memanggil, dan ketika ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.

Setiap malam aku menunggunya di kamar dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering membuat kamar tidur kami berantakan, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.

Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi laptop, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekas yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.

Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan ternyata aku juga mencintainya.

Aku marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkan dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belakan, tak pernah muncul setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Aku tak tahu cara yang benar untuk mendapatkan uang. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk keperluan pribadiku dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.

Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata hampir seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami karena aku tak pernah bertanya sekalipun tentang itu.

Sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku tak bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh suamiku.

Dalam kebingunganku, ayah datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan dari suamiku bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak. Tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat untuk mencintaimu dan anak-anak. Perlu kau tahu, mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tapi ternyata aku tak bisa. Meski begitu, aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak kita. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka sayang.

Jangan menangis sayangku yang manja. Lakukan banyak hal agar hidupmu tak terbuang percuma seperti selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu.

Dan untuk Farhan, kesatria pelindungku, jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang nakal dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya.

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito dan usahanya cukup berhasil meskipun dikelola oleh orang-orang kepercayaannya.

Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Sekian lama berlalu, banyak lelaki yang hadir tapi tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku.

Ketika orangtua dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putri kami berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putri kami menikah dengan seorang pemuda. Ia bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatap, “seperti cinta ibu pada ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “Bukan sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.


Di kutip dan di edit oleh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...