TAS tangan, bagi wanita bukan lagi sekadar wadah penyimpan barang, melainkan simbol status. Dalam sebuah acara sosial, status seseorang bisa ditentukan dari tas tangan yang ditentengnya.
Diana, 35, sudah siap berangkat. Dandanannya tanpa cela, rambut hitam berombak mengkilat menjadi bingkai sempurna untuk wajahnya yang ditata natural. Tubuh rampingnya berbalut gaun cantik dengan motif floral, tren terkini, dan kakinya dibungkus sepatu platform berlabel Jimmy Choo, serasi dengan tas tangan hitam yang disandangnya.
Untuk Diana, membeli tas tangan seharga USD328 atau setara dengan Rp3.053.680 bukanlah masalah. Baginya, status sosial yang menyertai brand tas yang melengkapi penampilannya, sepadan dengan harga yang harus dikeluarkan.
Di Jakarta, banyak wanita yang berpikir seperti Diana. Karenanya, tidak heran bila setiap musimnya, tas-tas brandedmulai Guess hingga Gucci tak pernah sepi konsumen.
Bahkan, bag bar yang menjadi pemandangan utama di butik Louis Vuitton merupakan jujugan fashionista saat koleksi baru tiba. ”Koleksi monogram merupakan favorit karena klasik,” cerita Public Relation Louis Vuitton Cecilia King. ”Tapi koleksi yang lebih kontemporer juga tak jarang menjadi pilihan,” sambungnya.
”Saya bukan fashionista,” ujar Diana, yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. ”Tapi saya memang menyukai tas. Dan bagi saya, tas bermerek sepadan dengan kualitas dan image yang ditampilkannya,” sambungnya.
Berbicara mengenai image, Diana mengungkapkan bahwa dirinya memang kolektor Jimmy Choo, namun di lemarinya, wanita berputri satu ini mengakui memiliki beberapa tas yang dianggapnya ”sakral”.
”Saya punya clutch vintage dari Valentino juga Kelly Bag dari Hermes. Dua tas itu hanya saya pakai untuk acara istimewa. Untuk sehari-hari, biasanya saya pakai Jimmy Choo, Kate Spade, atau Anya Hindmarch,” ujar wanita yang mengaku memuja Jimmy Choo untuk urusan sepatu ini.
Tas tangan yang termasuk dalam lini fashion accessories, statusnya kini lebih menonjol dibandingkan busana. Dalam sebuah acara sosial, tas tangan serta sepatulah yang pertama kali ”dilirik” sesama fashionista. ”Tas adalah pernyataan fashion, itulah tren yang sekarang terjadi di dunia fashion. Walaupun secara alami perempuan memang membutuhkan tas tangan dengan atau tanpa tren yang berlaku,” sebut Pauline Westin Thomas, pengasuh situs mode www.fashion-era.com.
Seperti juga sepatu, tas tangan menjadi fashion statement yang tidak bisa dikesampingkan. Alasan itu yang menjadikan Marc Jacobs begitu serius menggarap lini aksesori untuk tiga label yang ditanganinya, Louis Vuitton, Marc Jacobs, dan Marc by Marc Jacobs. Bukan hanya Jacobs, Frida Giannini dari Gucci juga tidak ketinggalan ”memoles” koleksi aksesorinya, termasuk tas tangan dan sepatu yang selalu terlihat menonjol di atas runway.
”Pasar menginginkan tas dan sepatu yang memberi pernyataan dan para desainer memenuhi kebutuhan itu,” sebut Thomas. Dia juga menyatakan, di era ini tas tangan adalah roda pemutar pundi-pundi rumah mode serta label fashion, selain parfum.
Brand-brand papan atas dunia seperti Hermes, Christian Dior, Prada, Chanel, Fendi, Gucci, Louis Vuitton, berlomba-lomba menghadirkan ”the it bag”, bersaing dengan brand yang memang berjalan di jalur aksesori dan leather product layaknya Bottega Veneta, Loewe, Kate Spade, Jimmy Choo, atau Anya Hindmarch.
Hermes punya Kelly dan Birkin, dua tas tangan ikonik dengan daftar pemesanan panjang. Marc Jacobs selalu sukses dengan koleksi tas tangan bergaya muda yang laris manis setiap musim, sementara Bottega Veneta tidak pernah gagal menjual produk kulit berdetail anyam yang menjadi ciri khasnya.
Anya Hindmarch pernah memimpin pasar dengan tas sederhana bertuliskan ”I’m Not A Plastic Bag”, sementara Kate Spade menarik konsumen melalui desainnya yang catchy dengan warna-warna cerah.
Tapi tentu saja, berbicara tas branded berarti membicarakan uang dalam jumlah banyak. Jika Jimmy Choo menjual koleksinya dengan rata-rata USD300, maka Hermes bisa menjual Birkin dengan harga USD6.000 untuk ukuran yang paling kecil dan bisa mencapai harga USD30.000-an, tergantung pada ukuran dan materialnya.
Banjir KW1
Jika harga menjadi masalah untuk kantong Anda, kini tersedia banyak ”replika” tas branded dengan harga miring yang kerap disebut KW1 (kualitas nomor satu) oleh para penjual di ITC maupun Mangga Dua.
”Kami hanya menjual yang KW1, makanya harganya lumayan,” ujar Melina, pemilik butik tas di Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menurut Melina, harga tas branded dengan kualitas yang mendekati asli bisa mendekati Rp1 juta–2 juta. ”Tergantung bahan dan modelnya. Kalau untuk model klasik harganya bisa sampai 2 jutaan malah lebih, soalnya bahannya mahal,” sebut wanita yang mengambil koleksinya dari Singapura juga Thailand ini. ”Kalau ambil barang lokal, kualitasnya jelek,” paparnya.
Namun, jika yang Anda inginkan hanya menenteng tas ”bermerek”, tanpa peduli kualitasnya, harga tidak akan menjadi masalah. Tas-tas ”aspal” dengan monogram Louis Vuitton atau Gucci banyak beredar di pasaran dengan harga Rp100.000–Rp200.000 saja, malah jika beruntung, bisa kurang dari itu.
Di luar negeri, plagiarisme merupakan tindakan yang sangat ditentang pelaku mode. Asosiasi fashion pun mengajukan permintaan pada pemerintah untuk adanya Undang-Undang Perlindungan Hak Cipta. Namun di Indonesia, hal itu tampaknya tidak menjadi masalah besar, malah ”diterima” dengan wajar oleh para konsumen.
”Kalau enggak beli yang KW, mana mungkin bisa punya tas branded,” cetus Andina, 24, yang menenteng tas tangan bermotif floral besutan Anna Sui.
Di satu sisi, menenteng Amazona klasik dari Loewe atau mini monogram Louis Vuitton memang memberi Anda status sosial tersendiri sebagai fashionista, namun jika ternyata ”aspal”, status itu bisa turun dalam sekejap. Untuk itu, ada satu peraturan yang bisa Anda ikuti, pilihlah tas tangan yang sesuai budget dan selera. Bila Louis Vuitton tidak sesuai kantong Anda, pilihlah tas tangan dari desainer lokal yang lebih ”ramah” untuk dompet tanpa harus mendukung plagiarisme.
(Koran SI/Koran SI/tty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar